Ada Benarnya pepatah yang mengatakan “Ganti Menteri ganti Kurikulum”. Anekdot ini rata-rata terbukti. Pendidikan di Indonesia menganut prinsip “Uji coba” yang cenderung tidak berkelanjutan. Artinya Kebijakan satu menteri dengan menteri selanjutnya belum tentu / tidak berkesinambungan. Hal ini senada dengan konsep atau filosofi perubahan. “Tidak ada di dunia ini sesuatu yang tetap, yang tetap sesungguhnya Perubahan itu sendiri”. Jadi tidak umum jika ganti menteri kurikulumnya tetap-tetap aja.

Perubahan Kurululum menuju IKM Ini jelas bertujuan baik ingin memperbaiki keadaan/kondisi yang sudah ada. Perubahan kurikulum bukan sekedar “sensasi semata” Namun apakah Aparatur pendidikan / Praktisi pendidikan (baca : tenaga Pendidik/Guru dan tenaga Non Pendidikan/Non guru) siap dengan kondisi / cuaca yang selalu berubah? inilah yang harus juga difikirkan oleh mereka para staf ahli di kementrian pendidikan baik di provinsi ataupun di tingkat Pusat / Jakarta yang lebih menentukan kebijakan.

Ijinkan saya menyampaikan sebuah statemen berikut ini ” Secanggih apapun Kurikulum Jika SDM dan komitemen tenaga pendidikan dan non pendidikan apa adanya akanlah berakhir sia-sia. Sebaliknya sesederhana apapun Kurikulum, Jika SDM dan Komitmen tenaga pendidikan dan non kependidikan Mumpuni akanlah Efektif mencapai tujuan perubahan kurikulum. Artinya statemen di atas adalah. Kurikulum sesungguhnya hanya seperrangkat rencana dan pengaturan mengenai ……. ila akhirihi. Tetapi penentu keberhasilan tercapainya tujuan pendidikan bukanlah sekedar kurikulumnya saja yang “canggih” tetapi Implementor-nya juga haruslah “Canggih”/ SDM dan komitemen pelaksana kebijakan kurikulm disemua jenjang sekolah harus “capabel” dan bisa harapkan untuk menerjemahkan perubahan kurikulum yang kita inginkan bersama. Jangan sampai Kebijakan perubahan kurikulum yang berubah hanya settingan konsep dan ide dari kurilulum saja, tetapi pola dan strategi mengajarnya para guru di sekolah hanya berjalan ditempat / stagnan!

Apa dan bagai itu SDM serta apa dan bagaimana itu Komitmen marilah kita kupas satu per satu jika bisa “Gamblang” dan sama sudut pandangnya. …. (to be continue )


Salah satu dari 8 standar pendidikan yang diataur oleh UU Sisdiknas adalah Standart Penilaian, seperti yang tercantung dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan. yaitu

Pasal 1 Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa standar penilaian pendidikan adalah standar mengenai ruang lingkup, tujuan, manfaat, prinsip, mekanisme, prosedur, dan metode penilaian hasil belajar siswa.

Namun Tidak sedikit guru yang ” kurang / bahkan tidak detail” dalam menyusun sistem penilaian karena beberapa faktor antara : 1) sistem Penilaian yang sedang berjalan di sekolah tersebut (ada indikasi pengkondisian sistem nilai oleh atasan). ….. 2) kurangnya kontrol dari Kurikulum/atasan langsung (diserahkan sepenuhnya Pada guru mata pelajaran). …. . 3) Kurangnya pengawasan dari pihak Pengawas sekolah, sehingga seolah-olah semua baik-baik saja. Akibatnya fatal budaya “NGAJI (baca; Ngarang Biji) jadi meraja-lela. Mereka pelaku “Mal Praktek” penilaian ini tidak pernah berfikir bahwa akibat yang ditimbulkan dari budaya “Ngaji” ini bisa berakibat fatal pada kredibilitas Standart Penilain di sekolah, Bahkan kredibilitas Sekolah secara keseluruhan.

salah satu akibat dari Proses “Ngaji” ini adalah kacaunya data daya serap siswa yang ada di laporan penilaian. Grafik/ kurva penilain menjadi tampak datar pandai semua, tidak ada nilai yang rendah, atau sedang. Fatalnya lagi jika siswa tersebut naik ke kelas di atasnya jika guru lain yang mengajar siswa tersebut detail sistem penilaiannya maka bisa berbeda hasil yang dilaporkan di raport penilaian siswa. Jika nilai naik mungkin tidak ada masalah. tetapi jika nilainya turun maka orang tua/siswa akan komplain. Lantas siapa yang mau disalahkan/bertanggung jawab?

Ada satu cerita yang dialami langsung oleh penulis; Ada siswa komplain nilai Biologi di kelas XI turun dari 89 saat kelas X turun ke 88 saat kenaikan siswa kelas XI ke kelas XII. Siswa komplain “kok nilai saya turun pak?” setelah ditelusuri nilai UH, PAT, PTS dirata-rata ternyata memang segitu hasilnya. Usut punya usut ternyata sistem penilain guru di kelas sebelumnya kelas X tidak menggunakan data otentik hasil tagihan siswa . Alhasil Praktek Ngaji sudah terbiasa.

Sangat ironi memang dikala kita di tuntut untuk akuntabel dan profesional dalam menerapkan standart penilai di sisi lain tidak sedikit guru yang terbiasa dengan Mal Praktek “Ngaji” nilai tanpa menggunakan data yang diperoleh dari proses pembelajaran yang terencana dan terprogram. Diperkirakan probabilitasnya lebih dari separuh guru yang ada di Nusantara ini.

SOLUSI nya adalah:

Sekolah dibawah kendali kurikulum harus membuat Standart Operasional Prosedur (SOP) semua mata pelajaran dan di Program dalam aplikasi Exel yang sederhana bisa di update, Upgrade dan di share ke stakeholders untuk menghindari jual/beli atau deal-deal lain yang kurang mendidik. Akuntabilitas penilaian sama pentingnya dengan akuntabilitas laporan keuangan institusi. Pengawasan, pendampingan dan pembinaan secara berkala oleh atasan juga sangat penting untuk menghindari model dan metade penilaian “ala kadarnya” asal gugur kewajiban. Karena yang terpenting dari pendidikan itu bukan hasil akhirnya berupa angka 6, 7, 8, 9 atau bahkan 10. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana siswa itu meraih angka 5,6,7,8,9, 10 itu sebagai proses dan prosedur untuk belajar yang berkarakter.

Memang kondisi sistem yang sedang berjalan juga berpengaruh terhadap keberagaman pelaporan yang harus diserahkan. Sistem di daerah tertentu belum tentu padu berjalan seirama dan beriringan pada semua sekolah terumata sekolah Negeri dan Swasta. Adakalanya sekeloh ‘tertentu” sangat fantastis mengkondisikan penilai siswa terumata diakhir menjelang kelulusan yang mempunyai keinginan “pragmatis” ingin membantu siswa agar bisa diterima disekolah “Favorit” Setingkat SMP/SMA atau untuk melanjutkan ke jenjang perguruan Tinggi untuk jenjang pendidikan setara SMA/SMK. Tuntutan Up nilai di rata-rata sekolah yang belum “mempunyai sistem” yang baku sudah menjadi budaya yang setiap tahun wajib dan harus dijalankan agar bisa memuaskan “customerout put siswa yang akan melanjutkan. Lantas apakah budaya Up nilai ni dibenarkan secara keilmuan pedagogik? tanpa lagi berdasarkan data faktual yang diperoleh dari sebuah proses yang detail dan bisa dipertanggung jawabkan. Sepertinya semua tergantung pada kepentingan. Karena pendidikan kita juga bergantung pada kepentingan sebagian orang. Jika ingin mencari kebenaran tanyakanlah pada naluri masing-masing. tetapi jika ingin menyenangkan atasan ikutilah yang mereka minta.

Semoga menjadi bahan perenungan bagi Sekolah yang belum memiliki standar Penilain pendidikan yang menyangkut mekanisme dan prosedur penilain yang baik dan benar. Amin ya Robbi


Biologi club sudah terbentuk sejak 30 Januari 2009. Mampukah layanan pengembangan peserta  didik di bidang sains (biology) untuk meraih prestasi yang diharapkan? Hal itu merupakan suatu pertanyaan besar yang harus di jawab di kemudian hari saat OSK, OSP dan OSN telah dihelat. Sepertinya waktu yang akan menjawabnya. Kita tidak boleh takabbur dulu, kita tidak boleh over confident bahwa kelak kita pasti menang. tidak demikian! Ikhtiar/usaha adalah yang utama, soal menang atau kalah, kita pasrahkan saja yang Maha Mengatur Segalanya.

Mengapa Biology club dibentuk?

Yang melatar belakangi pembentukan biolgy club adalah sebagai berikut :

1. Upaya secara legal untuk pembinaan belum pernah dilakukan,

2. Prestasi OSK, OSP dan OSN Bidang biology SMP 1 Bangkalan yang merupakan sekolah favorit belum pernah tercapai.

3. Potensi peserta didik yang cukup memadai,

4. Merupakan follow up dari desiminasi OSN tahun 2007/2008

Untuk apa biology club dibentuk? Antara lain :

1. Persiapan secara akademik dan psikis bagi calon peserta OSK, OSP, OSN di SMAN 1 Tarik Sidoarjo.

2. Menjaring siswa yang  berbakat dan berminat untuk berprestasi di bidang sains (biology)

3. Bentuk pembinaan yang terstruktur dan sistematis.

Format seleksi

meliputi seleksi tingkat kelas –> tingkat sekolah secara pararel –> di tes –> di rangking –> di ambil 10 besar –> wawancara –> pembinaan selama kurun waktu pebruari s.d OSP dilaksanakan –> tes akhir untuk menentukan 4 besar dan 6 yang lain tereliminasi.

Materi Pembinaan.

sesuai dokumen soal-soal OSK, OSP dan OSN serta perbendaharaan nara sumber/guru bina

Semoga Sukses dan di ridhoi Alloh SWT. Amin


Telah terjadi  peristiwa pilu Pada Selasa, 1/8/2023 Zaharman  (58) Guru Olah raga di SMAN 7 Rejang Lebong Bengkulu di ketepel Matanya oleh Orang tua Murid Gara-gara berusaha mendisiplinkan siswanya yang kedapatan merokok di sekolah.  Karena Seorang siswa berinisial PDM (16)  mengadu kepada orang tuanya Ar (45) telah ditindak oleh Bapak Zaharman akibat melanggar tata tertib merokok  di sekolah, sehingga terjadilah peristiwa yang memilukan di dunia Pendidikan Provinsi Bengkulu.

Wibawa sekolah utamanya guru seolah tidak dihargai, karena begitu mudahnya orang tua murid bersenjatakan ketepel masuk ke sekolah tanpa ada yang menghalangi atau mengawal untuk mencegah hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan orang / wali murid kepada guru.

                Di balik peristiwa tersebut tentu ada “wisdom” yang bisa akita ambil sebagai Pelajaran agar dikemudian hari tidak terjadi di lingkukngan kita IGI jawa timur pada umumnya dan sekolah kita pasa khususnya. Himah yang bagaiamanakah? Berikut ini sebuah prespective agar kita guru di seluruh Jawa timur dapat berhati-hati dalam melakukan tindakan apapun terhadap siswa yang sarat dengan resiko secara verbal maupun fisik sampai menimbulkan korban luka/cacad seumur hidup seperti pada peristiwa tersebut.

                Kita tidak ingin mencari kambing hitam dibalik peristiwa yang sudah  dan telah terjadi, namun kalau kita berpikir bijaksana, maka kita hanya bisa merangkai dan bertanya. Bagaimana peristiwa tersebut bisa terjadi? Bagaimana jika peristiwa tersebut terjadi di lingkungan sekolah kita  di jawa timur? Apa yang harus kita lakukan sebagai pribadi maupun sebagai teman sejawat dan teman se Orprof /IGI?

                Pertanyaan-pertanayaan tersebut sangat mendasar oleh karena itu ijinkanlah kami wakil ketua bidang 3 menguraikan sebuah narasi untuk digunakan sebagai bahan renungan agar kita lebih hati-hati dalam Upaya mendisiplinkan siswa kita di sekolah masing-masing.

Kedisiplinan siswa bagian dari substance Pendidikan dasar dan menengah yang harus ditegakkan, namun demikian ada standar prosedur dalam Upaya menegakkan disiplin agar tidak menimbulkan masalah baru akibat dari penindakan yang keliru. Pendekatan persuasive dan mendidik sangat diutamakan dan pendekatan physically agar dihindarkan karena ada aturan yang melarang guru memyentuh secara fisik apalagi memukul siswa yang melanggar aturan. Emosi kita sebagai guru / orang tua di sekolah harus dikendalikan, cool dan sabar dalam mengambil tindakan untuk menegur atau mengingatkan siswa dan jangan sampai melukai hati siswa secara verbal apalagi menciderai secara fisik. 

Jika sudah terlanjur mengambil tindakan yang berlebihan semisal memukul/Menendang,  maka segera netralisir dengan mendatangi rumah orang tua / wali yang bersangkutan sebagai bentuk proaktif bahwa kita guru tidak bermaksud untuk menyinggung, atau menyakiti tetapi semata-mata bermaksud memperingatkan. Adakalanya juga  guru hanya cukup dengan memanggil siswa tersebut secara khusus untuk dijelaskan apa maksud dan tujuan tindakan fisik yang sudah dilakukan didampingi wali kelas atau Guru BK.

Lantas bagaimana seharusnya Tindakan sekolah jika ada guru yang terlanjur melakukan penindakan tata tertib yang berlebihan? Maka Seyogyanya kepala sekolah sebagai leader seharusnya melakukan mediasi dan memberikan perlindungan kepada guru agar tidak langsung terjadi pertemuan fisik yang bisa membawa keributan.  Kepala sekolah harusnya ‘cekatan’  mengambil tindakan menetralisir versi sekolah agar tidak terjadi peristiwa yang tidak kita inginkan.

Dari peristiwa tersebut di SMAN 7 Bengkulu ada beberapa hal yang bisa ungkap  ; 1) ada kesalahan prosedur penindakan oleh guru yang menggunakan pendekatan physically, dengan memukul dan menndang bagian tubuh 2) Adanya pembiaran oleh manajemen sekolah saat peristiwa tersebut terjadi / tidak segera di netralisis, (Culture organisasi) yang kurang tanggap  3) Rendahnya prosesdur keamanan sekolah sehingga satpam/petugas pos jaga tidak bisa mengendalikan orang tua yang tersulut emosi.  Mungkin karena Faktor pembiayaangaji  tenaga keamanan yang rendah 4) Komunikasi yang kurang efektif untuk menangani masalah serupa sebelumnya. 5) kemungkinan lain yang belum kita ketahui semisal Kepala sekolah tidak berada di tempat.

Oleh karena itu, pada akhir tulisan ini kami mengharapkan kepada seluruh jajaran guru yang berlindung di satu atap Organisasi profesi  IGI Jatim;  Marilah kita berhati-hati dalam menindak siswa yang kurang disiplin / melanggar peraturan sekolah agar mengedepankan pendekatan persuasive yang mendidik dari pada sekedar pendekatan fisik yang sudah tidak relevan dengan undang-undang perlindungan anak yang berlaku saat ini. Jagalah perasaan, hati dan fisik mereka dengan mendidik siswa  dengan Hati yang dipenuhi kesabaran dan cinta kasih. Semoga Kita bisa mengambil Hikmah yang mendalam dari peristiwa tersebut. Agar tidak terjadi di Jawa Timur. Amin Ya Robbal Alamin.


Bersama Bpk. Solehuddin

Kekacauan pelaksanaan kurikulum di sekolah saat pandemi covid-19 telah terjadi. Pelaksanaan KBM dengan terpaksa dilaksanakan secara daring, luring tidak ada atau sedikit sekali dengan metode Tatap muka langsung antara siswa dan Guru di kelas, padahal semua RPP yang dirancang oleh sekolah dan guru didesain secara tatap muka. Bagaimana konsekwensi dari perubahan model, metode,  atau strategi pembelajaran ini terjadi? dari pelaksanaan secara tatap muka di kelas harus berubah menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) guru dan siswa berada di rumah masing-masing.

Sejak Tanggal 16 Maret 2020 Pemerintah melalui Gugus tugas penanganan covid-19 menetapkan kebijakan belajar dan mengajar dari rumah (work from home) dengan pendekatan dan menggunakan teknologi yang ada saat ini. karena keamanan dan keselamatan siswa dan guru menjadi prioritas utama dalam menentukan kebijakan untuk menghindari penyebaran wabah covid-19 secara cepat dan merata . 

Semua segmen pengambil kebijakan memutar otak untuk merumuskan pelaksanaan kegiatan PJJ di semua jenjang pendidikan mulai dari SD sampai dengan Perguruan tinggi agar pelaksanaan PJJ berjalan lancar dan dapat mencapai tujuan pebelajaran yang diinginkan yaitu tercapainya kompetensi siswa sebagai peserta didik.

Apakah PJJ akan bisa efektif menggantikan pembelajaran tatap muka di kelas? tentu jawabnya adalah “tidak!”. lantas bagaimana seharusnya PJJ ini bisa mendekati target minimal dari KD (kompetensi dasar) yang harus di capai oleh siswa sebagai peserta didik di sekolah? bagaimana sistem penilaian dan pengukuran yang umumnya terdiri dari tiga ranah penilaian : kognitif, afektif dan psikomotor? itulah beberapa pertanyaan mendasar yang harus di rumuskan oleh sekolah sebagai pelaksana dari kurikulum sekolah baik sebelum masa pandemi ataupun di saat masa pendemi.

Sampai kapankah masa darurat pandemi covid-19 ini akan berakhir? Para ahli dibidang pandemi belum bisa memprediksi secara tepat dan akurat karena waktu sedang berjalan, bisa jadi pendemi ini akan berakhir dengan cepat sampai akhir tahun 2020 atau bisa jadi sampai akhir tahun 2021. yang jelas data penyebaran covid-19 di Indonesia masih menunjukkan trend kenaikan secara signifikan dari angka 2 ribuan menjadi 3 ribuan.

Setiap sekolah mempunyai tim manajemen mutu yang sudah siap melaksanakan tugas saat kondisi normal. tetapi dalam kondisi yang tidak normal saat pandemi covid-19 ini apakah semua sekolah juga telah siap mengantisipasi perubahan pelaksaan kurikulum dari pembelajaran tatap muka di sekolah menjadi PJJ dari rumah masing-masing? tentu jawabnya adalah ” tidak semua sekolah telah siap untuk melaksanakan PJJ” saat pandemi covid-19. 

Di tingkat sekolah Kapasitas kepala sekolah dalam menentukan kebijakan pelaksanaan PJJ sangat menentukan. ada kalanya  kepala sekolah yang mempunyai kapasitas penguasaan IT (melek IT) yang bagus dan Tim manajemen yang solid/ bagus, maka sekolah tidak akan mengalami kesulitas atau kendala yang berarti dalam pelaksanaan PJJ di sekolahnya.  sekolah tinggal membenntuk Tim perumus standar operasional pelaksaan PJJ mulai dari perencanaan, pelaksaaan, pembiayaan, kontrol evaluasi dan pelaporan. ada kalanya kepala sekolah yang “Gaptek” dan jumlahnya bisa jadi berkisar separoh atau bahkan lebih, dari jumlah seluruh kepala sekolah yang ada di Indonesia  belum ada data penelitian yang memuat perbandingan jumlah  antara kepala sekolah yang “melek IT” dan kepala sekolah yang “Gaptek”. kesuksesan pelaksaan PJJ tergantung pada Tim kurikulum di sekolah, jika tim IT dan kurikulum di sekolah solid maka program pelaksaan PJJ akan bisa dilewati dengan sedikit kendala.

Namun jika dibandingkan antara sekolah yang mempunyai kepala sekolah yang melek IT dengan sekolah yang kepala sekolahnya gaptek tentu hasil akhirnya secara hipotesis akan lebih bisa dipertanggung jawabkan oleh sekolah yang telah memiliki kepala sekolahnya melek IT. maka dari itu tuntuan jaman now kepala sekolah harus melek IT.  minimal bisa menjalankan program office word dan exel. agar bisa di pacu untuk menjalankan program-program aplikasi IT lain yang membutuhkan control kepala sekolah sebagai penanggung jawab data data utama di sekolah yang berbasis teknologi informasi.

bukan hanya kapasitas kepala sekolah dan solidnya tim manajemen di sekolah yang menentukan keberhasilan pelaksanaan kurikulum normal dan kurikulum darurat pandemi covid-19. ada faktor lain yaitu : Kultur / budaya akademik dan komitmen Penggunaan Anggaran oleh Kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan amanat UU pendidikan khususnya pendampingan pelaksanaan kurikulum  PJJ sampai masa pandemi covid-19 berakhir. Jika sekolah mempunyai kultur akademik yang rendah jangan berharap sekolah akan mempunyai sistem pelaksaan kurikulum yang kuat dan tangguh terutama saat pendemi seperti saat ini. Apalagi  jika kepala sekolah mempunyai komitmen penggunaan anggaran yang rendah jangan berharap Tim manajemen akan bisa maksimal membuat program PJJ yang mendekati harapan.  karena di sekolah-sekolah tertentu Tim manajemen akan membuat hitungan timbal balik secara finansial dalam membuat dan menyusun program kegiatan di sekolah. lebih baik diam menunggu perintah dari pada harus berinisiatif membuat program yang ideal namun ditolak karena butuh anggaran dana yang tidak murah. Sehingga tidak sedikit sekolah-sekolah yang semakin terpuruk karena kondisi rendahnya kultur akedemik dan rendahnya komitmen penggunaan anggaran yang masuk ke sekolah . “tidak ada masa darurat pandemi covid-19 saja seperti itu, apalagi setelah masa pandemi seperti sat ini?!.”

Terutama sekolah-sekolah di daerah yang mempunyai kultur pengawasan yang rendah, sehingga manajemen anggaran cenderung melanjutkan tradisi dari kepemimpinan sebelumnya. jika kepimimpinan sebelumnya bermasalah maka kepemimpinan berikutnya cenderung sama dan diwariskan. 

Semoga menjadi bahan perenungan untuk teman-teman kepal sekolah se Jawa Timur.

Makhrus Ali, S.Pd, M.Pd

 

 


Pak menteri yang baru Bapak Nadiem Makarim sudah menyampaikan wacana Penghapusan Ujian Nasional (UN) di tahun 2021, berarti tahun 2020 UN dilaksanakan terakhir. sebagai gantinya mulai tahun 2021  adalah Asesment Kompetensi Minimum dan Survey Karakter (AKM & SK) . Apakah AKMSK itu? belum ada petunjuk dan penjelasan terinci dan kemendikbud karena masih sedang di  kaji tentunya.

Lantas apakah perubahan kebijakan itu akan mempengaruhi performa dari model standar penilaian yang masuk dalam 8 standar nasional pendidikan?

Berikut ini hasil kajian dan hasil analisis penulis dari berbagai aspek karena perubahan kebijakan penghapusan UN di tahun 2021.

AKM dan survey Karakter sudah mulai acuan definisi dan rincian bentuk kegiatan yang harus dilakukan sekolah.  AKM secara garis besar ditargetkan sekolah melakukan evaluasi / mengukur kompetensi siswa dari aspek Literasi dan kemampuan mengolah data yang sifatnya Numerik (angka-angka). dari 2 aspek tersebut sekolah harus mempersiapkan bentuk pola assesment yang bisa menggambarkan penguasaan / kompesiswa selama belajar disekolah dari semester awal samapai semester akhir.

Untuk survey karakter secara umum berdasarkan pedoman yang sudah disampaikan oleh kementrian adalah sekolah harus mengadakan assesment/survey/pengamatan prilaku siswa dari aspek sosial, keilmuan, psikologis, akademis, ketaqwaan, kepatuhan, kejujuran, dll.

……………

Draf….


Perubahan kebijakan pengelolaan pendidikan menengah (SMA,SMK dan PKLK dari otonomi kabupaten ke otonomi provinsi mengharapkan perubahan yang mendasar menuju terciptanya layanan pendidikan yang optimum. Sudah hampir 3 tahun migrasi kebijakan dan otonomi pendidikan take over dari otonomi kabupaten ke otonomi provinsi, namun adakah perubahan yang signifikan  menuju tercapainya perubahan paradigma pendidikan ke arah yang lebih baik?…. berikut ini marilah kita kupas satu persatu dari beberapa aspek yang penulis kaji secara ilmiah.

  1. Aspek Data
  2. Aspek Kinerja Guru dan Kepala sekolah (GTK)
  3. Aspek Kepemimpinan
  4. Aspek kesejahteraan
  5. Aspek Politik
  6. Aspek Sosial Lingkungan Masyarakat
  7. Aspek Peningkatan Kualitas

Dari Aspek Data; dekonsentrasi dari otonomi daerah ke otonomi provinsi masih menunjukkan jumlah sekolah yang kurang lebih sama antara jumlah sekolah di tingkat SMA, SMK dan PKLK sebelum dan sesudah dekonsentrasi. karena untuk mengurangi sekolah sekolah yang bermasalah dengan melakukan  merger atau menutupnya tidaklah semudah membalik telapak tangan. dibutuhkan suatu mekanisme pengambilan keputusan yang pas dan akurat sehingga tidak merugikan fihak fihak tertentu terutama pendidikan siswa dan masyarakat. adakalanya sekolah itu layak ditutup karena tidak mempunyai siswa yang cukup tetapi pihak yayasan tidak bersedia untuk menutupnya. Adakalanya sekolah itu kolaps karena kemampuan finasinal yang rendah dan jumlah guru yang tidak memadai sehingga KBM terseok-seok sehingga layanan KBM tidak memenuhi syarat, dan masih banyak lagi gambaran kondisi yang membelit sekolah karena faktor A, B, C dll. Keberadaan sekolah itu sudah menjadi mata pencaharian bagi pemilik Yayasan dan kebutuhan pendidikan ala kadarnya bagi masyarakat sekitar yang penting dapat Ijazah. obsesi dan keinginan yang ideal sulit direalisasikan karena untuk membangun sebuah sekolah yang ideal membutuhkan SDM dan modal investasi yang tidak sedikit. tanpa modal yang cukup dan SDM yang mumpuni imposible sekolah yang standart akan terwujud.

Dari Aspek Kinerja Guru dan Kepala Sekolah : Tidak sedikit guru yang ada di sekolah negeri/swasta itu yang mempunyai kinerja dan komitmen mengajar yang redah karena alasan faktor ekonomi.  sementara yang mempunyai komitmen kinerja yang tinggi tidak mendapatkan apresiasi. Terutama para GTT yang mempunyai gaji di bawah UMR. belum lagi SDM kepala sekolah dan komitmen yang rendah tidak perduli dengan kemajuan dan kemunduran sekolah karena lemah dari aspek keilmuan untuk mengembangkannya. kontrol atasan yang lemah, follow up permasalahan yang muncul terkesan samar, penyelesaian masalah yang irrasional tidak menguasai bidang terutama IT (ilmu pengetahuan dan Teknologi), faktor ekonomi yang terjepit dan juga faktor usia menjelang pensiun, ada pula faktor pertemanan dengan pejabat di atasnya sehingga masalah di sekolah itu tidak pernah mendapatkan penyelesaian yang significan, berlarut-larut tidak ada ujung pangkalnya.

Draf…


Pola pengelolaan pendidikan harus menyesuaikan dengan pola perkembangan zaman di era milenial. Tidak mungkin pengelolaan pendidikan di era sekarang dikelola secara manual dan gaya ortodoks. Untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan. Meskipun menterinya mileneal karena pendiri aplikasi Ojol “gojek” namun jajaran di bawahnya mulai dari kepala dinas provinsi, kepala cabang dinas, kepala sekolah, dan guru belum tentu bisa menyesuaiakan dengan pola pikir dan pola kerja menterinya. oleh karena itu harus ada singkronisasi pola pikir dan pola kerja sesuai dengan yang diinginkan Sang Menteri yang milenial.

Aplikasi onlne maupun offline pendukung kinerja sekolah sudah banyak di louncing oleh programer yang ditunjuk oleh bidang pengembangan tekonologi. tetapi tidak serta merta  aplikasi itu bisa dilaksanakan secara konsekwen oleh penyelenggara pendidikan di tingkat sekolah. sehingga data yang di input di portal sekolah tidak bisa begitu saja bisa dijadilakn data base sekolah yang credible. 

 

Draf


Pasca Dekonsentrasi sektor pendidikan, wacana “Rekonstruksi” pola pengelolaan pendidikan jenjang SMA/SMK, PKLK merupakan suatu keniscayaan. Karena indikasi ketimpangan pengelolaan pendidikan sangat kentara. Apabila momen ini tidak dilakukan oleh Pemerintah provinsi  Jawa Timur, bukan tidak mungkin dekonsentrasi akan semakin membawa keterpurukan sektor pendidikan menengah, akibat pola lama dan orang lama yang masih menggunakan pendekatan “Adiga Adigung” dalam mengambil keputusan.

Banyak kebijakan dan “trik” orang oportunis merajalela. Rata-rata pengambilan keputusan sifatnya oportunis dan bagi-bagi sedekah sehingga dana pengelolaan pendidikan bukan lagi lari ke sektor /substansi yang harus di garap, tetapi lari ke tangan-tangan orang yang mencari keuntungan pribadi demi menyelamatkan jabatan atau kedudukan.

Wibawa Kepala Dinas Provinsi sedang dipertaruhkan, karena kapasitas dan otoritas kepala cabang dinas pendidikan sangat menentukan keakuratan analisis struktur dan kontur laporan kegiatan/ penyelenggaraan tiap-tiap sekolah. Setiap laporan bukan sekedar berkas / print out  semata, setiap laporan kecenderungan merupakan hasil dan  tradisi warisan pola pengelolaan sebelumnya sehingga model dan substansinya tidaklah berubah.

Untuk mewujudkan idea dan harapan tersebut memang tidaklah mudah. karena membutuhkan personil dan dan kapabilitas pemimpin (leader) pengambil keputusan yang mumpuni. Untuk mencari dan memilih personil sebagai leader di berbagai bidang yang dibutuhkan juga tidak mudah karena kurang kesiapan SDM dan komitmen calon pejabat yang ditunjuk.

Adalakalanya calon pejabat itu siap bersedia tetapi kurang menguasai bidang. adakalanya ada orang yang mempunyai kapabilitas tetapi tidak oportunis hanya menunggu dan tidak berani menawarkan diri. ujung-ujungnya jabatan itu diberikan kepada orang yang terdekat dan dikenal saja, tanpa menelisik ada/tidaknya  basic experient yang sesuai.

Akibatnya bisa ditebak jabatan penting yang seharusnya bisa mengurai masalah / permasalah disektor pendidikan justru menjadi Blunder, si pejabat tidak malah menyelesaiakan masalahan tetapi membuat masalah baru yang tidak ada ujung penyelesian karena lemahnya pengalaman di bidang pendidikan dan tidak menguasai bidang. lemah dalam analisis masalah dan pengambilan keputusan, Nyali yang ciut untuk mengambil resiko, sehingga cenderung membiarkan dan tidak bisa menyampaikan data dan fakta apa adanya. seolah-oleh tidak ada masalah. Siapa yang perduli dengan kondisi ini? hanyalah orang-orang yang mengerti dan mempunyai empati  dengan keterpurukan pengelolaan sektor pendidikan.

Draf….


Kami Perlu Informasikan bahwa pengelolaan PIP dn BKSM di Sekolah kami adalah Sebagai Berikut :

Beasiswa PIP dan BKSM sangat membantu siswa di SMAN 1 Kwanyar. Apalagi sejak diterapkannya sekolah berbayar SPP Rp. 65.000,- (enam puluh lima ribu rupiah) setiap bulan. Hal ini sesuai dengan SE Gubernur Jatim No: 120/71/101/2017 dan sesuai pula dengan semboyan Pemerintah provinsi Jawa Timur “Jerbasuki Mowo Beo” semua kegiatan memerlukan biaya dan sekolah tidak lagi gratis tetapi berbayar. Namun demikian pemerintah tidak ingin melepaskan begitu saja beban pendidikan ke semua kalangan. baik yang mampu atau tidak mampu. bagi kalangan yang tidak mampu perlu mendapatkan program bantuan agar bisa tetap sekolah

Tahun 2017 jumlah siswa yang mendapatkan PIP seluruhnya 53% dari jumlah seluruh siswa …..  siswa. dana PIP diterimakan awal 2017. Seluruh dana yang ada di kelola oleh sekolah untuk keperluan Membayar : SPP, Kebutuhan personal (seragam), Buku-buku semisal LKS.
Contoh perhitungan siswa yang mendapatkan PIP Jumlah Total dana Asumsi dapat terus setiap tahun adalah 3 Juta Rupiah. kebutuhan SPP = (Rp. 65.000 x 12) x 3 tahun = Rp. 2.340.000,-. biaya LKS asumsi membeli semua @ Rp. 84.000,- x 6 semester = 504.000. Biaya personal seragam olah raga dan seragam Khas siswa serta atribut asumsi @ Rp. 500.000,-. Jika seragam khas terhutang maka dana yang dibutuhkan agar siswa itu tetap sekolah adalah Rp. 3.344.000,- minus 344.000.
jika siswa bisa membayar kebutuhan personal seragam maka dana akan tercukupi.
Masalahnya muncul ketika tidak semua siswa mendapatkan dana PIP sehingga siswa yang tidak mendapatkan dana tersebut kewajiban membayar SPP dan biaya lain jadi terhambat. Untungnya masih ada dana BKSM @ Rp. 65.000,- / bulan setian siswa bersumber dari pemerintah Provinsi Jawa Timur. hanya cukup untuk membayar SPP saja. itupun yang dapat BKSM terbatas sejumlah ……  siswa pada tahun 2017.
Sisanya ………..  non PIP dan non BKSM. 70% siswa tidak mampu membayar hampir semua kebutuhan baik SPP maupun biaya lainnya sampai mereka lulus.
Inilah faktanya pengelolan PIP dan BKSM di SMAN 1 Kwanyar. PIP cukup untuk membayar SPP dan LKS sedangkan BKSM hanya cukup untuk membayar SPP saja. biaya lainnya menyesuaikan kondisi ekonomi siswa dan orang tua.
Solusi yang kami tempuh adalah siswa yang tidak mendapakan PIP kami usulkan untuk mendapatkan BKSM atau melalui FUS (form Usulan sekolah) agar menyusul mendapatkan PIP. idealnya 90% siswa di SMAN 1 Kwanyar mendapatkan PIP sedangkan sisanya 10% siswa mendapatkan BKSM. agar biaya SPP atau biaya lain bisa dibayar melalui dana dari pemerintah tersebut.
Untuk siswa tahun pelajaran 2017/2018 siswa yang mendapat PIP masih proses berjalan karena kelas X siswa baru sama sekali belum mendapat SK memperoleh PIP. Data kami menunjukkan siswa yang dapat PIP kelas XII adalah …. dari …..  siswa yang dapat PIP, sisanya mendapatkan BKSM. untuk kelas XI ……  siswa yang dapat PIP dari …….. siswa sisanya …….  siswa ang dapat BKSM. sisanya ……..  orang yang tidak mendapatkan PIP atau BKSM.

Semoga keterangan ini bisa menjadi jembatan antara manajemen sekolah dengan masyarakat yang membutuhkan informasi layanan pengelolaan beasiswa PIP atau BKSM di Sekolah kami.

Hormat kami,
Kepala SMAN 1 Kwanyar

Makhrus Ali


Setelah berlakunya UU RI No. 23 Tahun 2014, Maka Per 1 Januari 2017 Pendidikan Menengah setingkat SMA dan SMK + SLB menjadi wewenang Wilayah Provinsi, bukan lagi lagi menjadi wewenang Daerah. Untuk itu kondisi yang ada seharusnya direkonstruksi secara manajerial dan pengelolaan. Karena perlu penyesusian secara menyeluruh guna optimalisasi fungsi semua Unit Pelayanan Teknik (UPT) di tiap sekolah (SMA/SMK) . Banyak permasalahan yang ditinggalkan oleh kebijakan pemerintahan masa otonomi daerah yang berimplikasi tidak maksimalnya roda pelayanan publik di pendidikan SMA/SMK khususnya Sekolah negeri yang menjadi tanggungan pemerintah sepenuhnya.

 

Draf… to be continue




Flickr Photos

Al-manak

April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930